Tuesday, December 22, 2009
gerimis yang tak henti
Hari ini, 22 Desember, hari Ibu yang sejak dulu aku tidak pernah sekalipun merayakannya, karena bagiku setiap hari adalah hari untuk Ibu. Semua yang aku lakukan, apa yang aku raih dan aku dapatkan kupersembahkan untuk Ibu. Termasuk cita-cita dan kebahagiaan.
Sejak kecil, aku termasuk anak yang sangat dekat dengan ibu, mungkin karena aku adalah bungsu. Apapun alasannya, Ibu adalah belahan jiwaku, oleh sebab itu kehilangannya adalah juga kehilangan bagian dari jiwaku. Pernah di umurku yang kira-kira baru lima tahun, aku jatuh sakit dan tidak mau makan, karena Ibu pergi satu malam saja (aku lupa antara menemani kakakku yang opname atau pulang ke kampung).
Sedari dulu aku sudah merasakan kalau perlakuan ibu cukup spesial untukku, jatah makanan atau kue, biasanya terbanyak diberikan untukku (heee..). Jatah tugas pekerjaan rumah pun tidak sebanyak kakak-kakak. Tapi yang aku rasakan, kakak-kakak tidak iri, mereka pun sangat menyayangi aku.
Disisi lain, Ibu juga bisa bersikap tegas terhadap aku, misalnya bila main terlalu lama, pulang sekolah tidak langsung kerumah, baju ku terkena noda atau bila nilai matematika ku turun. Ya, hal terakhir ini lah yang semakin membuatku kagum pada Ibu. Walaupun tidak lulus SD, tapi Ibu sangat menyukai matematika, ilmu paling pasti katanya. Tugas matematikaku sangat dipantau Ibu, pernah sekali Ibu marah besar karena tiga soal yang diberikan sekolah, hanya satu soal yang betul. Sejak saat itu aku pun berjanji untuk selalu mendapatkan nilai terbaik untuk matematika. Setelah ibu pergi, barulah kami mendapatkan cerita dari beberapa tante dan sepupu, bila dulu pun Ibu sering mengajarkan matematika pada mereka.
Ibuku terbaik diseluruh dunia, sejak kepindahannya ke Jakarta, ia menghidupi lima anaknya, sendirian. Semua pekerjaan halal dilakukannya asalkan kami bisa makan dan sekolah. Berjualan dan menjahit menjadi pekerjaan andalan Ibu. Pahitnya kehidupan pun sudah menjadi makanan Ibu sehari-hari, dicibir tetangga, dihina saudara, dibohongi pembeli… belum lagi beban fisik yang diembannya, membeli bahan dagangan dipasar, memanggulnya sendiri, menghirup debu jahitan, menyelesaikan pekerjaan rumahtangga, memperbaiki peralatan yang rusak, mengajarkan pelajaran sekolah pada anak-anak, mengurus lima anaknya yang masih kecil-kecil.. oh ibu… betapa tidak bergunanya aku bagimu….
Seperti telah aku uraikan diatas, beban hidup ini tidak lantas membuatnya pesimis, Ibu ingin anak-anaknya lebih maju dan berhasil. Ibu akan mengorbankan apa saja untuk menyekolahkan anaknya, walaupun hanya memiliki target hingga SMA, tapi Ibu telah berhasil… Sejak dulu aku sangat menyukai sekolah, salah satunya karena Ibu selalu menyemangati, pernah aku merasa sangat iba dan benar-benar merasakan kepolosan Ibu yang tidak boleh aku sepelekan, ketika ia membelikan aku kamus kecil di pasar, ditengah kesibukannya membeli sayuran dan bahan untuk berjualan.
Tahukah kau, langkah awal sekolahku selalu Ibu awali dengan secarik kertas “Surat Keterangan Tidak Mampu” , sepatu butut, peralatan seadanya dan berjalan kaki, namun aku tetap optimis meraih prestasi di sekolah, demi Ibu…
Tidak hanya pada urusan ilmu dunia, Ibu keras mengajarkan Islam pada kami terutama sholat dan mengaji. Alhamdulillah kami pun taat dengan kesadaran sendiri, walau pernah pula Ibu marah kepadaku karena di satu malam bulan ramadhan aku datang ke masjid hanya untuk menggelar sajadah untuk tarawih kemudian pulang, ibu meminta aku untuk tetap di masjid, lebih banyak pahala katanya, aku pun berlari kembali ke masjid. Namun Ibu agak longgar dalam hal puasa, Ia tidak terlalu memaksakan hal ini, tidak tega katanya. Itulah mengapa, aku baru belajar puasa ketika menginjak kelas 1 SMA (hee…) pernah ketika di bangku SMP, aku ingin sekali berpuasa, namun karena lemas, setelah ashar aku hanya tidur-tiduran dikamar, dan jam 5 lewat, kakakku datang, ia tersenyum sambil mengisyaratkan telunjuk di bibirnya, tanda untuk diam,dan tidak akan mengatakan pada siapapun, ia membawa semangkuk kolak dan es, titipan ibu katanya, besok lagi saja puasanya, nanti sakit.
Aku tidak pernah melihat Ibu menangis, bahkan sedikit mengeluhkan beban hidupnya pun tidak, ia perempuan tertangguh yang pernah aku tahu. Pertama kali aku meliahat Ibu menangis, yakni ketika aku akan pamit kuliah keluar kota. Ketika mencium tangannya, aku melihat ibu terdiam dan berair mata, ia ingin aku tetap kuliah di Jakarta, tetap dalam pandangan matanya, tetap tidur bersamanya. Oh ibu…. Perih hati ini, padahal sewaktu mendaftar UMPTN dahulu, aku memutuskan pergi keluar kota karena egoku ingin lepas dari mu, karena aku ingin menunjukkan bahwa engkau tidak bisa terus mengaturku terus, astaghfirullah...Tangisan-tangisan Ibu selanjutnya kutangkap ketika kami anak-anaknya, yang telah sebesar ini, membantahmu, melawanmu dan membentakmu dengan kata-kata kasar, oh Ibu, sedang dalam sakitmu pun engkau tidak pernah berairmata… Allah, ampuni kami…
Perjuangan Ibu untuk kami setapak demi setapak semakin kusadari, ini hal luar biasa. Sebelum aku sekolah Ibu sudah mulai berjualan, es, pecel, gado-gado, rujak, jagung bakar, apa saja. Ibu membuka dagangannya di depan rumah, sesekali bila ada keramaian. Aku hanya ikut duduk dan menghabiskan dagangan ibu, sedang kakakku yang sudah besar ikut membantu Ibu, dan kakak lainnya dirumah, menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.
Alhamdulillah, ibu mendapatkan peninggalan rumah sendiri dan beberapa peralatan rumah tangga. Karena kesulitan ekonomi, satu persatu Ibu menjual barang tersebut, namun tidak dengan lemari es. Sebagai pemilik lemari es satu-satunya di kampung kami, maka Ibu sangat mengandalkan berjualan es dirumah. Entah bagaimana ibu bisa terus mengisi modalnya, karena terkadang uang hasil penjualan tersebut kami bawa untuk uang jajan. Ketika kami tanyakan pada Ibu, ia hanya menjawab kalau kami boleh mengambil uang tersebut, karena memang itulah gunanya kami berjualan.
Selain itu Ibu juga mengerjakan jahitan salah satu tetangga kami yang seorang pengusaha, sebenarnya Ibu menguasai teknik menjahit pakaian, namun karena pekerjaan yang ada adalah jahitan borongan, maka jadilah ibu menjahit serabutan, kain perca, keset, pakaian dalam, celana pendek dan apa saja yang dijual tetangga kami tersebut. Inilah rupanya titik awal dimana penyakit saluran pernapasan mulai berjangkit di tubuh Ibu, tentu saja selain disebabkan kelelahan berlebihan.
Kondisi keuangan yang tidak menentu untuk kami juga membuat ibu harus berjuang lebih keras. Disaat ada kebutuhan mendadak, ibu tidak terlepas dari berhutang pada tetangga, inilah yang membuat kami cukup dikenal di kalangan orang-orang menengah keatas. Kadang kami pun membantu sekadarnya di rumah atau belajar bersama anak-anak mereka, yang akhirnya, selain uang hutangan, kamipun dikirimi makanan dan sedikit barang-barang yang bermanfaat, aku senang bukan main. Belakangan baru aku tahu bahwa Ibu pun terkadang menerima hinaan dari mereka, tapi baru Ibu sampaikan setelah kami besar. Hmm.. ibu, kau memang penyayang sejati…
Setelah kakak pertama kami menikah, keadaan mulai membaik, Ibu pun akhirnya memutuskan tinggal bersama mereka, lebih dekat dengan cucu katanya. Padahal aku tahu Ibu tidak ingin membebani aku yang waktu itu baru saja bekerja. Tinggallah aku bersama seorang kakakku di rumah kami. Disaat inilah aku semakin tersadar bahwa Ibuku lah segala-galanya, ternyata Ibu lah yang selama ini aku tunggu, maka setiap kembali menemui Ibu, aku semakin sayang pada Ibu, tak ada lagi bantahan atau suara keras, aku pun merasakan Ibu juga semakin meluapkan sayangnya padaku, aku cinta pada mu Ibu…
Menjelang kepergiannya, Ibu selalu memaksa aku untuk melakukan apa yang ia minta, menikah, menyerahkan hartanya dikampung pada saudara Ibu, bersilaturahmi ke saudaranya, hingga meminta aku untuk tinggal bersamanya. Ibu bersikeras untuk menjual rumah tinggalku sekarang untuk pindah bersamanya, Ibu, rindu pelukmu…
Sudah puluhan tahun Ibu mengidap asma, namun tidak pernah ia rasakan dan keluhkan. Yang aku tahu ibu hanya berobat pada dokter umum dekat rumah dan diberi obat. Pernah pula ibu menggunakan alat untuk bernapas (entah apa namanya), penguapan, obat warung hingga pengobatan alternative dan tidak mau opname di rumah sakit. Namun, dalam sakitnya, jangan dikira ibu hanya terbaring di tempat tidur. Ibu tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, memasak, membereskan rumah, menjaga cucu, beribadah, menyiapkan makan dan minum untukku hingga berkebun. Bodohnya aku yang mengira semua baik-baik saja.
Tidak pernah ada yang menandingi masakan ibu, restoran termahal pun tidak. Ibu ahlinya memasak dan meracik bumbu yang sulit, kadang aku ditegurnya karena tidak bisa memasak, aku menyangkalnya dengan akan mencatat bumbu racikan ibu, namun ibu bilang kalau masakan itu tercipta enak dari hati, jadi tidak bisa dicatat. Hatimu Ibu.. Aku sering pula ditegur ibu, karena selalu membantunya dengan tidak konsentrasi, sambil ngemil misalnya…
Beberapa bulan lalu, aku memeluk ibu, erat, setelah kami sholat dzuhur, aku katakan padanya, aku akan segera pindah di dekatnya, aku akan bekerja di tempat yang baru dan aku akan mengajaknya menunaikan haji.. ibu tersenyum, senyumnya tidak pernah secerah itu, sepanjang hari ia mengatakan tidak pernah menyangka bahkan terpikir sekalipun ia akan pergi ke Baitullah, ia tertawa bahagia, memelukku bangga. Oh ibu, tidak sanggup diriku hidup tanpamu…
Menjelang akhir hidupnya di rumah sakit, aku tidak pernah membiarkan diriku terlepas dari penglihatannya, aku selalu memeluknya, aku mencium kakinya, membimbingnya berdoa, memenuhi semua keinginannya.. tapi semua yang aku lakukan itu tidak akan membalas semua kelalaianku padanya, tidak cukup mengobati rasa bersalahku padanya, tidak akan sanggup membalas pengorbanannya, menghilangkan rasa sakitnya. Aku tetaplah anak bodoh yang egois.
Allah, ampuni kami, sungguh maafkan kelalaian dan kesalahan kami pada Ibu…
Allah, jadikan penyesalan kami sebagai pemberat amalannya dan pengangkat derajatNya disisiMu..
Allah, nilailah pengorbanan hidupnya untuk kami, penderitaan atas rasa sakitnya sebagai penebus dosa dan penambah pahala baginya…
Allah, jadikan kesedihan hati dan ujian dalam hidupnya sebagai kebahagiaannya di akhiratMu
Allah, sayangilah ia, karena Engkaulah sebaik-baik Penyayang, bukan kami…
Allah, peluklah ia erat karena Engkaulah sebaik-baik Pemeluk, bukan kami…
Allah anugerahkan syurga terindah untuk Ibu kami
Allah, ampuni dosa-dosa kami, sayangi kami, berikan kami kekuatan, topanglah kami dengan kasihsayangMu, agar kami dapat tetap berdiri dan melangkah menghadapi hidup hingga akhirnya nanti pun kami menyusul Ibu berjumpa denganMu…
Allah, sampaikan salam, rindu, peluk dan cium kami pada Ibu….
22 Desember 2009
Hari dimana aku bersembunyi, jauh dari keramaian karena tak sanggup menyaksikan khalayak berbagi ucapan selamat dan doa pada Ibu mereka
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ibu adalah orang yg tidak pernah lelah dan mengeluh dalam merawat kita :D
ReplyDelete