Tuesday, July 14, 2009

kehilangan (2)

Sebutlah namanya PakDe, ia seorang penjual mi ayam keliling di kawasan rumah saya. Sudah puluhan tahun kami mengenalnya. Mi ayam dagangannya terkenal lebih enak walaupun harganya jualnya sama dengan pedagang keliling lain. Beberapa tahun terakhir PakDe mulai mangkal di pertigaan yang ramai, jadi dagangannya sudah habis disana, tanpa harus keliling lebih jauh lagi, wajar bila sekali saja lewat sekitar rumah sudah banyak orang bergerombol untuk membeli. Pertemuan perdana saya setelah kurang lebih selama 9 tahunan tidak bertemu dengan PakDe tetap ramah, beliau tetap mengenali saya dan bercerita tentang anak sulungnya yang juga telah lulus kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan yang sesuai, saya turut senang mendengarnya.

Sampai kemudian, saya kehilangan Beliau kembali. Dua bulan lebih saya tidak melihatnya di tempat mangkal biasanya, seperti ada sesuatu yang terjadi. Tapi sore kemarin… saya melihatnya berdagang tidak jauh dari rumah. Saya menghampirinya dan bertanya kemana Pak De selama ini. Sungguh jawaban yang tidak saya duga. Dua bulan lalu putra sulungnya wafat. Jenazahnya ditemukan tanggal 20 April lalu di sebuah rumah kosong di kawasan Bogor dalam kondisi mengenaskan dan diduga dibunuh tiga hari sebelumnya. Saya masih sulit percaya, Inna Lillahi wa Inna Ilayhi Roji’un… beliau menceritakan pada saya dengan tegar walau suaranya makin pelan, mengenang putranya, kebaikannya dan kedewasaannya. Pak De tetap tegar dan terlihat mampu melewatiini semua, walau pelakunya belum tertangkap. Keluarga Pak De kehilangan putra sulung kebanggaannya.

Melihat gambaran seperti ini, semakin tersadar akan hakikatnya rasa memiliki dan kehilangan. Seseorang tidak akan merasa kehilangan bila ia tidak pernah memiliki, begitu pula sebaliknya dan kadar kehilangan yang suatu saat akan muncul akan sebanding besarnya dengan rasa memiliki yang pernah ada. Sehingga saya merasakan Pak De sekeluarga pasti merasakan kehilangan yang amat sangat, yang bila dibandingkan, hal ini belum pernah saya rasakan sebelumnya.

Rosulullah SAW dalam sebuah haditsnya bersabda : “Hiduplah sesukamu karena sesungguhnya kamu akan mati, cintailah yang engkau sukai karena sesungguhnya kamu akan meninggalkannya dan berbuatlah sekehendakmu karena sesungguhnya kamu pasti akan menemui-Nya.”(HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi).

Maka, siapapun yang memiliki sesuatu, pasti akan merasakan kehilangan karena tak ada yang abadi didunia ini, hakikatnya semua adalah milik Alloh SWT dan kehilangan adalah bagian dari ujian hidup dari-Nya. Pengingatan untuk diri sendiri dan yang pernah merasakan kehilangan, terimalah kenyataan dan lewati sedih itu, jalani hidup ini kembali dengan penuh semangat. Tak ada yang Alloh bebani diluar kemampuan kita, karena ada hikmah yang bisa didapat dan masih ada mimpi dan harapan yang harus diraih.

Walaupun luka dan hancur telah dirasakan, namun tegar dan bahagia bisa menjadi pilihan.

jika mimpi itu cahaya, maka aku kegelapan
jika harapan itu kekuatan, maka aku lemah tanpa daya
jika ia adalah hidup, maka...

Friday, July 03, 2009

mengaku cinta

Perpindahan seseorang dari zona pembelajaran yang nyaman ke wilayah pengabdian yang kompleks dengan tantangan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Bisa saja yang muncul adalah pribadi yang kuat karena tempaan di wilayah sebelumnya dan berhasil, sungguh inilah sebuah harapan atau perubahan menjadi pribadi lebur yang tidak menghasilkan apapun karena menyerah pada keadaan, mengecewakan. Hal yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah pribadi yang berpikir bahwa ia adalah sosok yang dewasa, berilmu dan mampu berkontribusi pada sekitar tanpa melupakan prinsipnya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya, ia tertipu.

Kemampuannya berinteraksi dengan dunia luar dengan fleksibel menimbulkan rasa bangga akan ilmu yang sudah didapat dan tidak perlu banyak pembelajaran lagi. Ketaatannya pada prinsip melegitimasi dirinya tak mengapa melanggar hal-hal yang cabang dengan alasan fleksibilitas tadi. Banyaknya pengabdian dan ketertarikan sekitar padanya, menimbulkan keengganan mendengar nasehat dan memberikan apologi tak masalah berprasangka serta menghakimi orang lain bahkan pada saudara seperjuangan sendiri yang (dianggap) tidak lebih bermanfaat dari dirinya. Keyakinannya pada sebuah kebenaran justru memudahkan baginya untuk berpikir, merasakan, berucap, mendengar dan bertindak salah dan tidak seharusnya dilakukan karena merasa Alloh SWT mencintai kebenaran dalam dirinya. Sungguh naïf mengira teguran adalah sebuah cobaan dan mengira hukuman adalah sebuah ujian. Maka wajarlah jika apa yang dibanggakan tidak cukup membuat hidupnya tenang dan berkah.

Kesombongan adalah akar dari sikap-sikap yang muncul tadi. Berawal dari bangga terhadap diri sendiri, menganggap remeh orang lain dan merasa cukup dengan (ilmu dan iman) yang dimiliki. Bukankah Alloh SWT telah memperingatkan akan bahaya sikap ghurur? Bukankah Rosulullah SAW memperingatkan akan dosa besar yang muncul dari tumpukan dosa-dosa kecil? Tidakkah kita tahu bahwa sombong dan bangga diri adalah sikap yang dibenci Alloh? Bukankah seseorang tidak dinilai parsial dari dirinya? Lupakah bahwa kasih sayang Alloh adalah hak Nya yang tidak semata-mata turun karena apa yang diperbuat hambaNya. Sungguh, Alloh lah yang Maha Tahu dan Menilai keimanan hambaNya.

Namun janganlah berputus asa untuk merubah keadaan, kembali kepada kesadaran diri sendiri, karena pembelajar sejati tak akan pernah berhenti, pejuang sejati tak kan pernah mati. Ilmu adalah bekal namun iman selalu butuh penjagaan, karena keadaannya yang bisa naik bisa saja turun, sedangkan syaithon tak akan pernah berhenti menghembuskan pengaruhnya dari berbagai penjuru. Perbanyak ibadah dan doa pada Alloh SWT dan temuilah orang-orang sholeh untuk meluluhkan keangkuhan diri.
Wallahu alam bishowab.

Sebuah teguran untuk diri sendiri dari seorang sahabat. Terimakasih untuk hadir.
Solo, miss you much. :”(